Legal standing adalah keadaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahmakah Konstitusi.[1] Legal standing adalah adaptasi dari istilah personae standi in judicio yang artinya adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan.[2] Sudikno Mertokusumo[3], menyatakan ada dua jenis tuntutan hak yakni:
1. Tuntutan hak yang mengandung sengketa disebut gugatan, dimana sekurang-kurangnya ada dua pihak. Gugatan termasuk dalam kategori peradilan contentieus(contentieus jurisdictie) atau peradilan yang sesungguhnya.
2. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa disebut permohonan dimana hanya terdapat satu pihak saja. Permohonan termasuk dalam kategori peradilan volunteeratau peradilan yang tidak sesungguhnya.
Sejalan dengan pemikiran Sudikno maka tuntutan hak dari pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar adalah tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa.
Kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai dasar yuridis formal “kedudukan hukum” atau “Legal Standing”. Hal ini terjadi dan terkait dengan suatu kasus apabila hak-hak dan/atau kewenangan konstitusional kesatuan “masyarakat hukum adat” dirugikan oleh suatu Undang-Undang. (Pasal 51 dan Pasal 60 UU MK). Dalam konteks Hak Asasi Manusia, Pasal 28 I ayat (3) UUD Negara RI 1945 menghormati “identitas budaya dan hak-hak masyarakat tradisional”. Begitu pula dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan prinsip otonomi daerah seluas-luasnya. Pasal 18 B UUD 1945 mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Legal Standing Sebagai Syarat Mutlak Untuk Mengajukan Perkara Di Mahkamah Konstitusi
Dalam praktik ketatanegaraan modern telah dikenal prinsip pengujian konstitusional sebagai pengejawantahan dari negara hukum yang berkedaulatan rakyat. Pada umumnya, mekanisme pengujian hukum ini diterima sebagai cara negara hukum modern mengendalikan dan mengimbangi (check and balance) kecenderungan kekuasaan yang ada di genggaman para pejabat pemerintah untuk menjadi sewenang-wenang.[4]
Pengujian undang-undang terhadap konstitusi di Indonesia dilakukan oleh suatu lembaga negara yang tersendiri yakni Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Kewenangan menguji ini merupakan kewenangan utama yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.
Pemohon selanjutnya wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya. Sehingga untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi pemohon harus dengan jelas mengkualifikasikan dirinya apakah bertindak sebagai perorangan warga negara Indonesia, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, sebagai badan hukum publik atau privat atau sebagai lembaga negara. Selanjutnya menunjukkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan akibat keberlakuan undang-undang. Jika kedua hal di atas tidak dapat dipenuhi maka permohonan untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Dari beberapa konsep mengenai legal standing maka dapat diketahui bahwa syarat mutlak untuk dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi adalah:
1. Adanya kerugian dari pemohon yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang.
2. Adanya kepentingan nyata yang dilindungi oleh hukum. Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usaha negara tidak dapat dijadikan dasar. Dalam hukum acara perdata dikenaladagium point d'interet point d' action yaitu apabila ada kepentingan hukum boleh mengajukan gugatan.
3. Adanya hubungan sebab akibat (causa verband) antara kerugian dan berlakunya suatu undang-undang. Artinya dengan berlakunya suatu undang-undang maka menimbulkan kerugian bagi pemohon.
4. Dengan diberikannya putusan diharapkan kerugian dapat dihindarkan atau dipulihkan. Sehingga dibatalkannya suatu undang-undang atau pasal dalam undang-undang atau ayat dalam undang-undang dapat berakibat bahwa kerugian dapat dihindarkan atau dipulihkan.
Pemohon yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan di atas berarti memiliki legal standing untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian legal standing ini menjadikan pemohon sebagai subjek hukum yang sah untuk mengajukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar ke lembaga negara ini. Persyaratan legal standing mencakup syarat formal sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang dan syarat material yakni adanya kerugian konstitusional akibat keberlakuan undang-undang yang bersangkutan.
Post a Comment