BREAKING NEWS

Thursday, 29 September 2016


MEMBEDAH LEGAL STANDING LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT DALAM BERACARA DI PENGADILAN
Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang dan pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen, baik promosi melalui media cetak atau elektronik, maupun penawaran barang yang dilakukan secara langsung.  Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari dan karena tidak berdaya dalam memperjuangkan haknya maka konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya.
Permasalahan yang dihadapi saat ini tidak hanya sekedar bagaimana konsumen memilih barang, akan tetapi jauh lebih kompleks dari itu yaitu menyangkut pada kesadaran semua pihak, baik pengusaha, pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha terkadang kurang menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk dikonsumsi dan mengikuti standar yang berlaku serta dengan harga yang sesuai.
Selama masih banyak konsumen yang dirugikan, masalah perlindungan konsumen selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama.  Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan. Posisi lemah konsumen disebabkan karena peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia belum memadai dan kurang menjamin adanya suatu kepastian hukum, ditambah dengan tingkat pengetahuan dan pendidikan konsumen yang masih sangat rendah.
Dengan latar belakang tersebut, maka pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang disahkan pada tanggal 20 April 1999, dan efektif berlaku terhitung sejak tanggal 20 April 2000.
Sebelum berlakunya UUPK, Indonesia tidak memiliki ketentuan hukum yang komprehensif dan integratif tentang perlindungan konsumen, berbagai peraturan yang sudah ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan konsumen. Lebih lanjut untuk menyelenggarkan perlindungan konsumen maka sesuai pasal 1 angka 1 UUPK terdapat 3 lembaga nonpemerintah yang ikut aktif menyelenggarakan perlindungan konsumen. Lembaga nonpemerintah tersebut adalah Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
APA YANG DIMAKSUD SENGKETA KONSUMEN DAN BAGAIMANA CARA MENYELESAIKANNYA?
Sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Menurut Pasal 45 UUPK setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Penyelesaian sengketa konsumen tersebut dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Konsumen dapat menggugat pelaku usaha di peradilan umum secara perorangan atau secara berkelompok (class action). Gugatan terhadap pelaku usaha tersebut juga dapat diajukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dan pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Selain penyelesaian melalui pengadilan, UUPK memberikan alternatif cara menyelesaikan sengketa konsumen melalui jalur di luar pengadilan (non litigasi) yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Tugas dan wewenang BPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 52 UUPK dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi dan arbitrase dan memberikan konsultasi perlindungan konsumen.
Keanggotaan Majelis BPSK terdiri dari unsur pemerintah, pelaku usaha dan konsumen. Pada dasarnya konsumen dapat langsung menuntut ganti rugi kepada pelaku usaha, namun apabila pelaku usaha tersebut menolak atau tidak memberi tanggapan atas tuntutan ganti rugi tersebut maka konsumen dapat menggugat pelaku usaha yang bersangkutan ditempat kedudukan konsumen. Jika konsumen memilih upaya   penyelesaian   sengketa   konsumen   di    luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
APA KAITAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DENGAN DJKN ?
Kaitan penyelesaian sengketa konsumen dengan DJKN, karena sampai dengan saat ini banyak LPKSM yang bertindak selaku kuasa hukum dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat / Pengacara mewakili pribadi atau badan hukum serta mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terutama atas pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan yang dilaksanakan oleh DJKN.
APAKAH LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT DAPAT MENGAJUKAN GUGATAN DAN BERTINDAK SELAKU KUASA HUKUM KONSUMEN, SEHINGGA DAPAT BERACARA DI PENGADILAN?
Pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen di Indonesia, dan peran aktif tersebut diberikan melalui organisasi Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Pemerintah mengakui LPKSM yang memenuhi syarat dan memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU Perlindungan Konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
Tugas LPKSM menurut Pasal 44 ayat (3) UUPK adalah
1. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
3. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
4. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
5. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
Berdasarkan Pasal 46 ayat (1) huruf c UUPK, LPKSM mempunyai hak untuk mengajukan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dengan syarat, LPKSM tersebut berbentuk badan hukum atau yayasan, dalam anggaran dasarnya disebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan LPKSM tersebut telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Oleh sebab itu untuk dapat menggugat LPKSM harus dapat membuktikan bahwa dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dapat berprofesi memberi jasa hukum. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu badan/perkumpulan/badan usaha agar dapat dikatakan sebagai badan hukum (legal person/rechtperson). Menurut doktrin ilmu hukum syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Adanya harta kekayaan yang terpisah ;
2. Mempunyai tujuan tertentu ;
3. Mempunyai kepentingan sendiri ;
4. Adanya kepengurusan/organisasi yang teratur ;
Terkait dengan ketentuan mengenai kuasa untuk beracara di pengadilan dalam hukum acara Perdata sebagaimana diatur dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan Buku II Edisi 2007 halaman 53-54, disampaikan bahwa yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari penggugat/tergugat atau pemohon di pengadilan adalah :
a. Advokat, sesuai dengan pasal 32 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Penasihat Hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat Undang-Undang Advokat mulai berlaku dinyatakan sebagai Advokat;
b. Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil Negara/Pemerintah sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI;
c. Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan R.I.;
d. Direksi/Pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum;
e. Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan (misalnya LBH, Hubungan Keluarga, Biro Hukum TNI/Polri untuk erkara-perkara yang menyangkut anggota / keluarga TNI/Polri
f. Kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah / semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan surat keterangan kepala desa / kelurahan.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa LPKSM tidak bisa memberikan jasa bantuan hukum dan beracara di pengadilan karena LPKSM bukan merupakan pihak yang memiliki kewenangan untuk bertindak sebagai kuasa/wakil dari penggugat/tergugat atau pemohon untuk beracara di pengadilan sebagaimana diatur dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan, dan LPKSM juga tidak mempunyai kewenangan untuk beracara sebagaimana diatur dalam UU PK. Hak yang diberikan oleh UUPK kepada LPKSM hanyalah sebatas hak untuk menggugat. Hak untuk menggugat dari LPKSM itu pun harus dibuktikan dengan status lembaga yang bersangkutan, yakni harus memenuhi persyaratan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c UUPK.
Menurut Aman Sinaga, S.H., Konsultan Hukum Perlindungan Konsumen pada Direktorat Pemberdayaan Konsumen Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen, Kementerian Perdagangan, tugas LPKSM salah satunya adalah membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen. Pria yang juga menjabat sebagai anggota BPSK Propinsi DKI Jakarta ini juga menyampaikan bahwa tugas tersebut bukan berarti LPKSM dapat serta merta menggugat dan menjadi kuasa hukum untuk beracara di persidangan. Lebih lanjut Aman menyatakan bahwa selama ini banyak LPKSM yang bekerja di luar rambu-rambu peraturan yang ada, atas permasalahan tersebut maka pihak yang mempunyai wewenang untuk melakukan pembinaan kepada LPKSM adalah Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen, Kementerian Perdagangan.
Dalam kesempatan yang lain Ganef Judawati, Direktur Pemberdayaan Konsumen, Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan menegaskan bahwa pada prinsipnya LPKSM mempunyai hak mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 46 ayat (1) huruf c UUPK, hak yang diberikan oleh UU PK tersebut berarti bahwa dalam perkara sengketa konsumen di Pengadilan, LPKSM hanya bisa memposisikan diri sebagai Penggugat bukan sebagai kuasa hukum/Advokat dari konsumen. Lebih lanjut menurut Ganef, sehubungan dengan banyaknya LPKSM yang telah bertindak di luar ketentuan yang berlaku maka Kementerian Perdagangan cq. Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen cq. Direktorat Pemberdayaan Konsumen akan memberikan pembinaan.
Guna menghadapi tantangan ke depan, DJKN perlu mempersiapkan diri, terlebih bagi petugas penangan perkara pada tingkat Kantor Pelayanan. Hal ini harus diantisipasi mengingat semakin meningkatnya kualitas maupun kuantitas permasalahan yang muncul dan bersinggungan dengan sengketa konsumen dari kegiatan lelang yang dilaksanakan oleh DJKN. Substansi penyelesaian sengketa konsumen harus benar-benar dipahami sehingga pada akhirnya pegawai DJKN bukan hanya berperan sebagai petugas penangan perkara saja, akan tetapi juga cerdas sebagai konsumen yang sadar akan hak-haknya.
Penulis : Rais Martanti – Direktorat Hukum dan Hubungan Masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan, Buku II Edisi 2007
 
Copyright © 2014 yabpeknasbanten