Tugas Utama KASUBDIT PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. Menerima laporan pengaduan & keluhan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat atau mitra lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha
2. Menelaah dan menganalisa pengaduan konsumen
apa yang terjadi
3. Memberikan saran dan rekomendasi kepada
pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan
konsumen,
4. Melakukan penelitian dan pengkajian
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan
konsumen,
5. Melakukan penelitian terhadap barang
dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen,
6. Menyebarluaskan informasi melalui media
mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada
konsumen,
7. Melakukan survei yang menyangkut
kebutuhan konsumen.
Tugas
dan Fungsi KASUBDIT PERLINDUNGAN
KONSUMEN Meskipun secara eksplisit hak-hak konsumen belum diatur
konstitusi, namun terdapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengakomodir
hak-hak konsumen, yaitu 1) pasal 28 H ayat (1): Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperolah pelayanan kesehatan; 2) pasal 31
ayat (1): setiap warga negara berhak mendapat pendidikan ; (2) setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; 3)
pasal 34 ayat (3): negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak;
6. UU Perlindungan Konsumen juga merupakan
penjabaran lebih detil dari hak asasi manusia, lebih khusus lagi hak-hak
ekonomi yang tercantum dalam Kovenan Internasional Hak Ekosob. Kehadiran UU
Perlindungan Konsumen adalah wujud tanggung jawab pemerintah dalam menciptakan
sistem perlindungan konsumen, sehingga ada kepastian hukum baik bagi pelaku
usaha agar tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab, maupun bagi konsumen, yang
merupakan pengakuan harkat dan martabatnya.Mengapa UU Perlindungan Konsumen
(UUPK) Dibutuhkan?
7. Meskipun secara eksplisit hak-hak konsumen
belum diatur konstitusi, namun terdapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang
mengakomodir hak-hak konsumen, yaitu 1) pasal 28 H ayat (1): Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperolah pelayanan
kesehatan; 2) pasal 31 ayat (1): setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya; 3) pasal 34 ayat (3): negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak;
8. UU Perlindungan Konsumen juga merupakan
penjabaran lebih detil dari hak asasi manusia, lebih khusus lagi hak-hak
ekonomi yang tercantum dalam Kovenan Internasional Hak Ekosob. Kehadiran UU
Perlindungan Konsumen adalah wujud tanggung jawab pemerintah dalam menciptakan
sistem perlindungan konsumen, sehingga ada kepastian hukum baik bagi pelaku
usaha agar tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab, maupun bagi konsumen, yang
merupakan pengakuan harkat dan martabatnya.
9. Seperti Apa Isi UUPK?
10. Isi dari UUPK selain asas dan tujuan serta
hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, dari segi materi hukum, secara umum
UUPK mengatur sekaligus hukum acara/formil dan hukum materiil. Kemusdian UUPK
juga mengatur kelembagaan perlindungan konsumen tingkat pusat dalam bentuk
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), maupun di daerah dalam bentuk
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), juga tentang penyelesaian sengketa
konsumen dan ketentuan pidananya.
11. Definisi Konsumen dalam UUPK
12. Konsumen adalah setiap orang yang memakai
barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
13. Definsi Pelaku Usaha dalam UUPK
14. Pelaku usaha adalah setiap orang
perseorangan atau badan hukum, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi. Ada dua jenis pelaku usaha, yaitu perseorangan dan badan usaha. Dalam
konteks advokasi konsumen, yang relevan untuk dijadikan ?sasaran? advokasi
adalah pelaku usaha dalam bentuk badan usaha. Sedangkan pelaku usaha
perseorangan, dalam praktik muncul dalam bentuk pengusaha kecil/lemah, justru
masuk kelompok yang juga harus mendapat pembelaan/ advokasi.
15. Definisi Barang dalam UUPK
16. Barang adalah setiap benda baik berwujud
maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan
maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
17. Definisi Jasa dalam UUPK
18. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan
konsumen. Dalam praktik di lapangan, keberadaan jasa dapat dibedakan menjadi
empat, yaitu: 1) Jasa komersial: seperti bank, asuransi, telekomunikasi,
transportasi, dll; 2) Jasa non-komersial: seperti jasa pendidikan, jasa
pelayanan kesehatan; 3) Jasa professional: seperti dokter, pengacara, notaris, akuntan,
arsitek, dll; 4) Jasa layanan public: seperti pembuatan SIM, KTP, Pasport,
sertifikat tanah, dll. Sedangkan dari aspek penyedia dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu: 1) badan hukum privat, baik yang bersifat komersial (Perseroan
Terbatas) maupun non-komersial (Yayasan); dan 2) badan hukum publik. UU
Perlindungan Konsumen terbatas hanya mencakup jasa yang disediakan oleh badan
hukum komersial.
19. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM)
20. LPKSM adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar
dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan
konsumen. Ruang lingkup kegiatan LPKSM meliputi: penanganan pengaduan konsumen,
pendidikan konsumen, penerbitan majalah/buku konsumen, penelitian dan
pengujian, dan advokasi kebijakan.
21. Apa Saja Hak-Hak Konsumen?
22. # Hak Atas Kenyamanan, Keselamatan dan
Keamanan
# Hak Untuk Memilih
# Hak Atas Informasi
# Hak Untuk Didengar Pendapat dan Keluhannya
# Hak Untuk Mendapatkan Advokasi
# Hak Untuk Mendapat Pendidikan
# Hak Untuk Tidak Diperlakukan Secara
Diskriminatif
# Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi
# Hak Yang Diatur Dalam Peraturan
Perundang-undangan Lainnya
23. Hak Atas Kenyamanan, Keselamatan dan
Keamanan
24. Bagi konsumen hak ini harus mencakup aspek
kesehatan secara fisik, dan dari perspektif
keyakinan/ajaran agama tertentu.
25. Hak Untuk Memilih
26. Merupakan kebebasan konsumen dalam memilih
barang dan jasa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, barang yang beredar di pasar
haruslah terdiri dari beberapa merek untuk suatu barang, agar konsumen dapat
memilih .
27. Hak Atas Informasi
28. Bisa dipenuhi dengan cara antara lain,
melalui diskripsi barang menyangkut harga dan kualitas atau kandungan barang
dan tidak hanya terbatas informasi pada satu jenis produk, tetapi juga
informasi beberapa merek untuk produk sejenis, dengan demikian konsumen bisa
membandingkan antara satu merk dengan merk lain untuk produk sejenis.
29. Hak Untuk Didengar Pendapat dan Keluhannya
30. Ada dua instrumen dalam mengakomodir hak
untuk didengar: Pertama, Pemerintah melalui aturan hukum tertentu dalam bentuk
hearing secara terbuka dengan konsumen; Kedua, melalui pembentukan organisasi
konsumen swasta dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Hak untuk didengar
menuntut adanya organisasi konsumen yang mewakili konsumen.
31. Hak Untuk Mendapatkan Advokas i
32. Dengan hak ini, konsumen mendapat
perlindungan hukum yang efektif dalam
rangka mengamankan implementasi ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin
keadilan sosial. Hak ini dapat dipenuhi dengan cara: 1) Konsultasi hukum,
diberikan pada konsumen menengah ke bawah. Bentuk kegiatan ini dapat dilakukan
oleh organisasi konsumen dan atau instansi pemerintah yang mengurusi
perlindungan konsumen; 2) Menggunakan mekanisme tuntutan hukum secara kolektif
(class action); 3) Adanya keragaman akses bagi konsumen individu berupa
tersedianya lembaga penyelesaian sengketa konsumen, baik yang didirikan oleh
pemerintah berupa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di setiap
pemerintah kota / kabupaten.
33. Hak Untuk Mendapat Pendidikan
34. Definisi dasar hak ini adalah konsumen harus
berpendidikan secukupnya, dapat dilakukan baik melalui kurikulum dalam
pendidikan formal maupun melalui pendidikan informal yang dilakukan oleh
lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen.
Pemenuhan hak untuk mendapat pendidikan juga menjadi kontribsi dan tanggung
jawab pelaku usaha.
35. Hak Untuk Tidak Diperlakukan Secara
Diskriminatif
36. Tindakan diskriminatif secara sederhana
adalah adanya disparitas, adanya perlakukan yang berbeda untuk pengguna
jasa/produk, dimana kepada konsumen dibebankan biaya yang sama. Oleh karena itu
adanya pelaku usaha yang menyediakan beberapa sub kategori pelayanan dengan
tarif yang berbeda-beda, susuai dengan tarif yang dibayar konsumen tidak dapat
dikatakan diskriminatif.
37. Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi
38. Mendapatkan ganti rugi harus dipenuhi oleh
pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan si pelaku
usaha tersebut. Bentuk ganti eugi dapat berupa: 1) pengembalian uang; 2)
penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya; 3)
perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan (pasal 19 Ayat (2) UUPK).
39. Hak Yang Diatur Dalam Peraturan
Perundang-undangan Lainnya
40. Selain hak-hak yang ada dalam UU PK, dalam
UU lain juga diatur hak-hak konsumen, seperti UU Kesehatan. Oleh karena itu
dimungkinkan adanya hak konsumen tambahan sesuai dengan tipikal sektor
masing-masing.
41. Potret Pelanggaran Hak-hak Konsumen
42. Pelanggaran hak-hak konsumen di Indonesia
merupakan hal yang jamak, masih kita jumpai sehari-hari kasus keracunan makanan
dan kecelakaan yang menempatkan konsumen sebagai korban. Beberapa sebab
terjadinya pelanggaran hak konsumen adalah rendahnya tanggung jawab pelaku
usaha, tidak maksimalnya regulasi pemerintah, dan mandulnya penegakkan hukum .
43. Pelanggaran hak-hak konsumen dapat berupa
pelanggaran bersifat substantif maupun prosedural sebagaimana diatur dalam UU
Perlindungan Konsumen atau berbagai UU sektoral.
44. Konsumen Perumahan
45. Ada dua kelompok pengaduan konsumen
perumahan, yaitu: 1) sebagai akibat telah terjadinya pelanggaran hak-hak
individu konsumen perumahan. Seperti, mutu bangunan di bawah standar, ukuran
luas tanah tidak sesuai, dll; 2) sebagai akibat pelanggaran hak-hak kolektif
konsumen perumahan. Seperti, tidak dibangunnya fasilitas sosial / umum,
sertifikasi, rumah fiktif, banjir dan soal kebenaran klaim / informasi dalam
iklan / brosur dan pameran perumahan.
46. # Fasilitas Sosial (Fasos) dan Fasilitas
Umum (Fasum)
# Penjualan Rumah Fiktif
47. Fasilitas Sosial (Fasos) dan Fasilitas Umum
(Fasum)
48. Fasilitas sosial dan fasilitas umum yang
diiklankan dalam sumber informasi bagi konsumen, yaitu iklan, brosur perumahan
dan pameran perumahan terkadang tidak didapat sebagaimana mestinya, banyak
fasilitas yang diperjanjikan dalam brosur pada akhirnya hanya menjadi promosi
semata dari pengembang. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap konsumen perumahan
yang dilakukan oleh pengembang (jika menjadi penangggung jawab membangun
fasilitas umum) maupun oleh Pemda setempat (jika informasi tersebut bersumber
pada dokumen resmi yang dikeluarkan Pemda).
49. Menghadapi persoalan diatas dibutuhkan dua
kebijakan pemerintah dalam rangka melindungi kepentingan konsumen perumahan. 1)
kebijakan yang bersifat komplementer. Artinya, kebijakan yang berisi ketentuan
hukum yang memungkinkan konsumen mendapatkan informasi tentang fasilitas umum
yang harus disediakan pengembang; 2) kebijakan yang bersifat kompensatoris.
Artinya, terhadap praktik-praktik pemasaran dan pembangunan perumahan yang
menimbulkan kerugian bagi pihak konsumen dapat menuntut ganti rugi kepada
pengembang.
50. Penjualan Rumah Fiktif
51. Korban kasus penjualan rumah fiktif biasanya
adalah golongan masyarakat yang benar-benar membutuhkan rumah yang umumnya
kelompok masyarakat menengah ke bawah. Ada dua instrumen hukum yang dapat
dilakukan calon konsumen yang menjadi korban kasus perumahan fiktif untuk menuntut
pengembalian uang yang telah disetorkan kepada pengembang: 1) seperti diatur
dalam Pasal 98 KUHAP: ?Jika seuatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dalam
pemeriksaan perkara pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka
hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu?.
Artinya, kerugian bagi orang lain yang dimaksud pasal itu termasuk pula
kerugian pihak korban. Dan penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana
yang dimaksud adalah agar perkara gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama
diperiksa sekaligus; 2) berdasarkan putusan dalam perkara pidana yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, para korban secara terpisah dapat mengajukan
gugatan perdata ke pengadilan untuk menuntut ganti rugi dengan tuntutan
pengembang diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun untuk proses
yang lebih efektif beracara dalam advokasi konsumen kasus rumah fiktif adalah
dengan menggunakan mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action) .
52. Konsumen jasa ketenagalistrikan
53. Dua ketidakadilan dalam penyediaan
ketenagalistrikan di Indonesia: 1) dalam bentuk, baru ada sekitar 54 persen
masyarakat Indonesia yang dapat mengakses listrik; 2) masyarakat yang sudah
mendapatkan aliran listrik, sebagai konsumen hak-hanya masih sering terabaikan
karena seringnya pemadaman, voltase turun-naik, dan akurasi pencatatan meter.
54. # Pencatatan Meter
# Pemadaman tanpa pemberitahuan
# Voltase tidak stabil
# Penerangan Jalan Umum
55. Pencatatan Meter
56. Permasalahan pencatatan meter mendominasi
kasus yang dialami konsumen. Biasanya kesalahan petugas dari PLN ternyata
dibebankan kepada konsumen, dalam bentuk: 1) konsumen membayar tidak sesuai
dengan pamakaian; 2) beban tagihan menjadi menumpuk, sehingga memberatkan
konsumen .
57. Pemadaman tanpa pemberitahuan
58. Kerugian konsumen akibat pemadaman, dalam
bentuk : 1) biaya, karena akibat pemadaman konsumen harus mengeluarkan biaya
ekstra, seperti beli lilin, dll; 2) hilangya potensi pendapatan, seperti usaha
photo kopy misalnya, karena pemadaman, usahanya terhambat; 3) kerusakan
alat-alat elektronik, atau usia alat-alat elektronik menjadi tidak tahan lama.
59. Pemadaman yang terjadi karena sebab yang
masih dalam kendali PLN, mestinya ada kompnsasi financial bagi konsumen.
60. Voltase tidak stabil
61. Voltase tidak stabil adalah bentuk
pelanggaran hak-hak konsumen, khususnya hak atas keamanan dan keselamatan dan
hak konsumen untuk mendapatkan barang dan atau jasa yang sesui dengan standar
sebagaimana yang telah dijanjikan oleh pelaku usaha. Contoh: masyarakat
mendapatkan tenaga listrik jauh di bawah atau di atas yang sudah diumumkan PLN.
62. Penerangan Jalan Umum
63. Pajak Penerangan Jalan Umum dibebani pada
konsumen PLN, namun dalam kenyataannya tidak semua konsumen PLN menikmati dari
pajak yang telah mereka bayar. Keluarnya Keppres No. 89 tahun 2002 tentang
Harga Jual Tenaga Listrik tahun 2003, ada keharusan dari PT PLN untuk
mendeklare Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) di masing masing cabang untuk
penerangan jalan, meliputi : 1) frekuensi pemadaman per 3 bulan; 2) lama
pemadaman per 3 bulan; dan 3) akurasi pencatatan meter. Jika dalam realisasi,
PLN tidak dapat memenuhi TMP yang dideklare, PT PLN harus membayar
denda/penalty kepada konsumen sebesar 10 persen dari biaya beban. Namun, dalam
praktik tidak banyak cabang PLN yang mensosialisasikan TMP kepada konsumen.
64. Konsumen jasa Perbankan
65. Dalam praktik merebut nasabah cara yang
dilakukan bank tidak diimbangi dengan memberikan informasi yang utuh tentang
produk jasa perbankan tersebut, sehingga muncul berbagai keluhan konsumen jasa
perbankan.
66. # Produk ATM
# Produk Kartu kredit
67. Produk ATM
68. Ada empat persoalan dari Produk ATM
(Automated Teller Machine), yaitu: 1) keberanan iklan ATM, ketika mau
menggunakan ATM dalam keadaan tidak berfungsi dan tidak ada penjelasan dari
bank; 2) perjanjian standar dalam aplikasi permohonan ATM yang berat sebelah;
3) informasi tentang produk ATM sangat minim. Beberapa pemegang ATM mengeluh, uang
yang ditelan boks ATM, namun saldo rekening konsumen tetap di-debet; 4) soal
mekanisme penyelesian komplain pemegang ATM. Konsumen tidak merasa menarik
tunai melalui ATM, tetapi didapati saldo rekening konsumen berkurang. Dalam
kasus seperti ini, posisi konsumen sangat lemah, karena secara teknis konsumen
tidak mungkin meng-counter pembuktian yang disodorkan pihak bank penerbit ATM.
69. Produk Kartu kredit
70. Persoalan yang sering dikeluhkan konsumen
kartu kredit antara lain: 1) Iklan. Ikaln yang gencar dilakukan umumnya
berkesan menyenagkan konsumen. Padahal, tersembunyi maksud untuk mengeruk uang
sebanyak-banyaknya dari kantung konsumen; Kedua, perjanjian standar yang isinya
berat sebelah. Setiap pemohon kartu kredit, terlebih dahulu harus mengisi aplikasi
permohonan kartu kredit yang dibuat dalam bentuk standar, pemohon tidak ada
alternatif lain, selain setuju dengan persyaratan yang ditentukan secara
sepihak oleh bank; 3) besaran dan cara menghitung bunga/penalty. Tidak banyak
konsumen kartu kredit yang tahu atau peduli, bagaimana bank mengenakan biaya
terhadap konsumen, sehingga sangat sulit untuk konsumen ikut mengoreksi jika
terjadi kekeliruan dalam penagihan.
71. Konsumen produk Obat-obatan
72. Beragam persoalan yang dihadapi konsumen
produk obat-obatan di Indonesia: Dari persoalan makro menyangkut peran
pemerintah dalam pengadaan obat murah, persoalan hak kekayaan intelektual
obat-obat paten yang membuat harga obat melambung, soal tata niaga produk obat
yang syarat dengan kartel, keberadaan obat palsu, penggunaan obat yang tidak
rasional, sampai soal belum optimalnya apoteker, khususnya dalam pelayanan
kefarmasian kepada masyarakat .
73. # Konsumsi obat yang tidak rasional
# Maraknya obat palsu
# Tidak optimalnya peran apoteker
74. Konsumsi obat yang tidak rasional
75. Temuan Purnawati S. Pujiarto (konsultan
kesehatan WHO Indonesia), terbukti bahwa 69,6 % anak-anak yang sakit di
Indonesia, diberikan lebih dari 4 macam jenis obat, sementara 35,3 % anak-anak
yang sakit mendapat lima macam obat. Padahal rata-rata penyakit anak tersebut,
bisa sembuh tanpa harus ke dokter. Ini menjadi bukti tidak rasionalnya konsumsi
obat yang diberikan oleh dokter. Ada dua potensi pelanggaran hak-hak konsumen
dari konsumsi obat yang tidak rasional, yaitu pelanggaran hak atas informasi
dan hak atas keamanan.
76. Maraknya obat palsu
Data WHO menyebutkan, peredaran obat palsu di
negara berkembang, termasuk Indonesia, mencapai 20 % – 40 %. Praktik peredaran
obat palsu terjadi karena lemahnya pengawasan pemerintah dan juga karena
rendahnya daya beli masyarakat.
77. Tidak optimalnya peran apoteker
Apotik berbeda dengan toko obat, jika pasien
menebus obat di apotik, pasien mendapatkan dua bentuk produk, yaitu obat
tersebut dan informasinya. Namun selama ini, tidak banyak konsumen yang
memperolah informasi obat ketika menebus obat di apotek, karena tidak ada
apoteker ketika menebus obat. Hal ini merugikan konsumen, karena selain tidak
mendapat informasi obat dari personil yang kompeten, juga tidak dapat
berkonsultasi menyangkut obat yang akan dikonsumsi, baik manfaat obat maupun
resikonya.
78. Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan
79. Ada dua kategori pelayanan kesehatan: 1)
pelayanan kesehatan tingkat dasar, hal ini menjadi tanggung jawab Pemerintah;
2) pelayanan kesehatan lanjutan, disedikan pemerintah juga disediakan rumah
sakit swasta.
80. Beberapa kategori pengaduan pelayanan
kesehatan: Pertama, persoalan non-medik (mahalnya biaya rawat inap, soal
keamanan di rumah sakit); Kedua, persoalan medik (baik yang dilakukan oleh
dokter, maupun oleh profesi penunjang, seperti perawat, bidan).
81. # Malpraktik profesi dokter
# Penggunaan alat canggih yang tidak
proporsional dan rasional
# Dokter yang merangkap sebagai ”pedagang”
82. Malpraktik profesi dokter
Malparktik profesi dokter, yaitu penyimpangan
yang dilakukan dokter dalam menjalankan profesinya, dari standar profesi yang
ada yang menimbulkan kerugian di pihak pasien.
83. Hak-Hak Konsumen – Konsumen Jasa Pelayanan
Kesehatan
Penggunaan alat canggih yang tidak proporsional
dan rasional
Penggunaan alat canggih dalam praktek kedokteran
terkadang berlebihan karena sebenarnya hal itu bukan kebutuhan pasien,
melainkan usaha rumah sakit untuk menutupi beban biaya investasi pengadaan
barang tersebut, jadi pasien menjadi obyek pendapatan semata. Selain itu juga
minimnya info yang diberikan tentang alat ersebut kepada pasien makin merugikan
pasien.
84. Dokter yang merangkap sebagai ”pedagang”
Dokter yang menjadi pedagang obat berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan dan pada akhirnya pasien yang dirugikan, karena
harus mengkonsumsi obat lebih banyak sehingga biaya kesehatan menjadi
membengkak.
85. Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen
86. Ada berbagai macam usaha yang dapat ditempuh
untuk menyelesaikan sengketa konsumen, namun sebelum mengambil keputusan untuk
melakukan tindakan/aksi terhadap terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen,
terlebih dahulu harus jelas hasil (outcame) apa yang diharpakan konsumen dari
tindakan tersebut.
87. # Mengajukan pengaduan kepada Asosiasi
Industri
# Membuat pengaduan ke Pelaku Usaha
# Menulis surat pembaca di media cetak
# Membuat pengaduan ke LPKSM
# Membuat Pengaduan / laporan tindak pidana ke
Kepolisian
# Mengirimkan somasi ke Pelaku Usaha
# Mengajukan gugatan secara perorangan
# Mengajukan Gugatan Perdata secara Perwakilan
Kelompok (Class Action)
# Meminta LPKSM mengajukan Gugatan Legal
Standing
# Penyelesian sengketa konsumen Melalui Badan
Penyelaian Sengketa Konsumen (BPSK)
# Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Ombudsman
Nasional
# Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Periklanan
Indonesia
# Mengajukan Pengaduan kepada Organisasi Profesi
88. Mengajukan pengaduan kepada Asosiasi
Industri
Lembaga yang juga dapat menjadi alternatif
konsumen menyampaikan pengaduan adalah Assosiasi Industri. Ada dua pendekatan:
1) fungsi penanganan pengaduan konsumen langsung ditangani pengurus assosiasi;
atau 2) assosiasi yang membentuk lembaga khusus yang berfungsi menangani
sengketa konsumen, seperti assosiasi industri asuransi membentuk Badan Mediasi
Asuransi Indonesia .
89. Membuat pengaduan ke Pelaku Usaha
Pengaduan ke pelaku usaha penting dilakukan
konsumen terlebih dahulu, karena dalam banyak kasus antara konsumen dengan
pelaku usaha berawal dari burukya komunikasi, termasuk minimnya pemahaman
konsumen tentang produk yang dikonsumsi, dengan mengadu langsung ke pelaku
usaha, pada umunya dapat diselesaikan tanpa perlu ada bantuan / intervensi
pihak ketiga.
90. Menulis surat pembaca di media cetak
Dengan menulis pengalaman buruk di media cetak
tentang suatu produk tingkat penyelesaian sangat rendah karena tergantung
kepedulian dari pelaku usaha aka nama baiknya. Namun cara ini baik untuk
pendidikan konsumen lain agar mengetahui info barang tersebut.
91. Membuat pengaduan ke LPKSM
Membuat pengaduan ke LPKSM dapat dengan berbagai
akses, seperti: surat, telepon, datang langsung, e-mail, SMS. Agar ditindak
lanjuti, pengaduan konsumen harus dilakukan tertulis atau datang langsung ke
LPKSM dengan mengisi form pengaduan konsumen. Mekanisme LPKSM dalam
menyelesaikan sengketa konsumen adalah dengan mengupayakan tercapainya
kesepakatan antara konsumen dengan pelaku usaha melalui mediasi atau konsiliasi .
92. Membuat Pengaduan / laporan tindak pidana ke
Kepolisian
Dalam beberapa kasus pelanggaran terhadap hak
konsumen ada yang berdimensi pidana, oleh karena itu dapat diadukan ke
Kepolisian. Laporan / pengaduan ke kepolisian dapat menjadi dasar bagi
kepolisian untuk mengambil langkah hukum / polisional sehingga korban tidak
berjatuhan lagi.
93. Mengirimkan somasi ke Pelaku Usaha
Somasi selain berisi teguran, juga memberi
kesempatan terakhir kepada tergugat untuk berbuat sesuatu dan atau untuk
menghentikan suatu perbuatan sebagaimana tuntutan pihak penggugat. Cara ini
lebih efektif, terlebih ketika menyangkut kepentingan publik, akan sangat bagus
somasi dilakukan kolektif dan terbuka.
94. Mengajukan gugatan secara perorangan
Mengajukan gugatan perorangan untuk masalah
sengketa konsumen sangat tidak efektif, karena biaya akan sangat mahal dan
lamanya waktu penyelesaian.
95. Mengajukan Gugatan Perdata secara Perwakilan
Kelompok (Class Action)
Gugatan Perwakilan kelompok merupakan cara yang
praktis, dimana gugatan secara formal cukup diwakili beberapa korban sebagai
wakil kelas. Namun apabila gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, korban lain yang secara formal tidak ikut menggugat dapat langsung
menuntut ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan tersebut. Selain dalam UU
Perlindungan konsumen, gugatan class action juga diatur dalam UU Jasa
Konstruksi. Gugatan ini baik dipakai untuk kasus-kasus pelanggaran hak konsumen
secara missal
96. Meminta LPKSM mengajukan Gugatan Legal
Standing
Menurut pasal 46 Ayat (1) Huruf (c) UU PK
menyebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
dapat mengajukan gugatan legal standing dengan memenuhi syarat, yaitu: 1)
Berbentuk badan hukum atau yayasan; yang 2) Dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen; dan 3) Telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya.
97. Penyelesian sengketa konsumen Melalui Badan
Penyelaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Lembaga ini pendiriannya menjadi tanggungjawab
pemerintah, didirikan ditiap pemerintahan Kota/Daerah tingkat II. Tujuan BPSK
untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan (Pasal 49 Ayat (1)
UUPK) melalui cara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi yang anggotanya
terdiri dari unsur: 1) Pemerintah; 2) Lembaga konsumen; dan 3) Pelaku usaha
(Pasal 49 Ayat (3) UUPK).
98. tugas dan wewenang BPSK, meliputi: 1)
penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui
mediasi/arbitrase/konsiliasi; 2) konsultasi perlindungan konsumen; 3)
pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; 4) melaporkan kepada penyidik
umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam UUPK; 5) menerima pengaduan
baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen; 6) meneliti dan memeriksa
sengketa perlindungan konsumen; 7) memanggil pelaku usaha yang diduga telah
melakukan pelanggaran; memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau
setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UUPK; 9) meminta
bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap
orang sebagaimana
99. Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Ombudsman
Nasional
Pengaduan kepada Komisi Ombudsman Nasional dapat
dilakukan jika seorang mendapat pelayanan buruk dari lembaga pemerintah. Namun
KON memiliki kelemahan, yaitu kewenangannya terbatas meminta klarifikasi dan
memberikan rekomendasi, tanpa memiliki kewenangan eksekusi. Masalahnya adalah
ketika rekomendasi Komisi tidak ditindaklanjuti oleh lembaga yang diadukan
masyarakat, komisi juga tidak dapat berbuat apa-apa.
100. Mengajukan Pengaduan kepada Komisi
Periklanan Indonesia
Terkait iklan di bidang perumahan, seperti klaim
iklan berlebihan, penggunaan figur anak-anak dalam iklan perumahan, konsumen
atau lembaga konsumen dapat mengutarakan keluhannya ke Komisi Periklanan
Indonesia, yaitu lembaga “independen” yang dibentuk komunitas pengusaha
periklanan yang tergabung dalam PPPI yang secara fungsional menampung keluhan
atau pengaduan masyarakat terhadap visualisasi tayangan iklan. Namun, lembaga
ini belum efektif disebabkan: 1) Independensi komisi ini diragukan; 2) Tidak
semua pengusaha periklanan tergabung dalam PPPI;
101. Mengajukan Pengaduan kepada Organisasi
Profesi
Dalam kasus sengketa konsumen jasa profesional,
apabila jenis pelanggaran masih dalam koridor kode etik, konsumen dapat
mengadukan kepada Majelis Kehormatan Etik masing-masing profesi. Sebagai
contoh, jika ada indikasi notaris melakukan malpraktik profesi yang potensial
merugikan kepentingan masyarakat, sebagai pengguna jasa, masyarakat dapat
mengutarakan keberatan/pengaduan Dewan Etik Ikatan Notaris Indonesia.
102. Dasar hukum pengaduan konsumen
103. # Perbuatan Melawan Hukum (Onrecchmatige
Daad)
# Wansprestasi/Cidera
# Kelebihan dan kekurangan berbagai saluran
pengaduan konsumen
104. Perbuatan Melawan Hukum (Onrecchmatige
Daad)
Perbuatan melawan hukum yang diatur pasal 1365
KUHPerdata selalu dijadikan pijakan dalam gugatan perdata. Isinya adalah tiap
perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut. Perbuatan melawan hukum dapat dipahami baik dalam arti sempit
(terbatas kepada pelanggaran undang-undang), maupun dalam arti luas (meliputi
pelanggaran terhadap undang-undang dan perbuatan manusia yang melanggar hak-hak
orang lain). Empat unsur yang harus dipenuhi dalam konstruksi hukum perbuatan
melawan hukum: 1) Adanya perbuatan melanggar hukum; 2) Menimbulkan kerugian; 3)
Adanya unsur kesalahan, dan 4) Ada hubungan kausalitas antara perbuatan hukum
dan kerugian yang timbul.
105.Wansprestasi/Cidera
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa belanda
yang berarti prestasi buruk. Wansprestasi dapat berupa: 1) Tidak melaksanakan apa
yang sudah diperjanjikan; 2) Melaksanakan yang diperjanjikan tidak sebagaimana
mestinya; 3) Melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; dan 4)
Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
106.Persoalan di lapangan adalah pengertian
perjanjian dalam wanprestasi terbatas pada perjanjian yang ditandatangani kedua
belah pihak. Tidak termsuk korespondensi, brosur, leaflet yang kadang juga
berisi janji-janji pelaku usaha kepada konsumen
107.Kelebihan dan kekurangan berbagai saluran
pengaduan konsumen
Tabel