BAB I
PENDAHULUAN
Lahirnya Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang telah
disahkan pada tanggal 20 April 1999, dan mulai efektif mulai tanggal 20 April
2000. Di antaranya, mengatur tentang keberadaan lembaga penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan, lebih familiar nya di sebut dengan BPSK (Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen). BPSK sudah terbesar di mana saja, khususnya di
Indonesia. Pembentukan BPSK wajib di bentuk dikarenakan kehadiran tekhnologi
dan informatika yang semakin lama semakin luas jangkauannya sehingga
menimbulkan keberadaan barang dan jasa semakin meningkat dan arusnya semakin
lancar serta adanya selentingan yang terjadi di Negara ini tentang perdagangan
bebas.
Berdasarkan Pasal 45
ayat (2) UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa penyelesaian
sengketa konsumen dapat di tempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Maka, para pihak di
beri kewenangan untuk memilih dalam menyelesaikan permasalahannya baik jalur
pengadilan maupun jalur luar pengadilan. Apabila para pihak tersebut memilih
jalur luar pengadilan, maka BPSK-lah yang berwenang dalam menyelesaikan
sengketa tersebut. Maraknya kasus-kasus tentang transaksi jual beli yang
akhirnya merugikan konsumen, atau penipuan bahkan ketidak puasan yang di alami
oleh konsumen atas barang/jasa yang ditawarkan, sehingga mengharuskan
Pemerintah untuk segera membentuk lembaga penyelesaian sengketa. Adanya BPSK
memudahkan masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Untuk lebih jelasnya,
mari kita sama-sama simak baik-baik pembahasan yang lebih mendetail mengenai
BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) di dalam Bab selanjutnya.
BAB II
PERMASALAHAN
Dari uraian latar
belakang masalah tersebut diatas, maka dapat di simpulkan beberapa pertanyaan.
Adapun permasalahan yang ada dalam pembahasan tentang “Kelembagaan BPSK Serta
Tugas dan Wewenang BPSK”, antara lain:
1. Bagaimana pengertian secara global tentang
BPSK ?
2. Bagaimana dasar hukum serta pijakan hukum
yang menaungi BPSK ?
3. Bagaimana kelembagaan BPSK sesuai dengan UU
Perlindungan Konsumen ?
4. Sebutkan tugas dan wewenang BPSK ?
5. Bagaimana pula peranan BPSK ?
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)
Secara legal term
pengertian BPSK diatur dalam UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
dan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdangangan menyebutkan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen selanjutnya dalam keputusan ini disebut BPSK
adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara Pelaku
Usaha dan Konsumen.[1] Dalam pembahasan BPSK erat kaitannya dengan pelaku usaha
dan konsumen. Maka, hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas–asas dan
kaidah–kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak
satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan
hidup.[2]
Sedangkan menurut
istilah (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) BPSK merupakan suatu lembaga
khusus yang dibentuk diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang
tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen
dan pelaku usaha.[3]
Jadi, menurut hemat
penyusun bahwa (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) BPSK merupakan lembaga
atau institusi non-struktural yang memiliki fungsi sebagai lembaga/institusi
yang menyelesaikan permasalahan konsumen di luar pengadilan. Lembaga ini pun di
bentuk oleh Pemerintah dalam rangka menyelesaikan sengketa konsumen yang
terjadi. BPSK berada di bawah naungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan
sedangkan operasionalnya dibantu oleh Pemerintah daerah setempat. Pengusulan
pembentukan BPSK di kabupaten/kota kepada Pemerintah berkoordinasi dengan
provinsi dan fasilitasi operasional BPSK.[4] Adapun prinsip BPSK dalam
menyelesaikan sengketa, yaitu : mengutamakan musyawarah, cepat, murah dan
adil.[5] Keberadaan BPSK diharapkan mampu memberikan konsultasi seputar masalah
perlindungan konsumen, menjembatani setiap adanya sengketa yang timbul dari
kedua belah pihak serta mampu menyelesaikan tugasnya dalam hal menerima
pengaduan dari masyarakat.
B. Dasar Hukum Pembentukan BPSK (Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen)
Dasar hukum atau
regulasi yang mengatur keberadaan serta mendukung keberadaan BPSK (Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen), sebagai berikut :
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen
2. Peraturan Pemerintah No.57/2001 Tentang
BPKN
3. Peraturan
Pemerintah No. 58/2001 Tentang Pembinaan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen
4. Peraturan Pemerintah No. 59/2001 Tentang
LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat)
5. Keputusan Presiden No. 90/Tahun 2001 Tentang
Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
6. Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 301/MPP/Kep/10/2001 Tanggal 24 Oktober 2001 Tentang
Pengangkatan Pemberhentian Anggota Sekretariat BPSK
7. Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 302/MPP.Kep/10/2001 Tanggal 24 Oktober 2001 Tentang Pendaftaran
LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat)
8. Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 350/MPP.Kep/12/2001 Tanggal 10 Desember 2001 Tentang Tugas dan
Wewenang BPSK
9. Surat
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 605/MPP.Kep/8/2002 Tanggal
29 Agustus 2002 Tentang Pengangkatan Anggota BPSK
10.
Keputusan Presiden No. 108 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK)
11.
Keputusan Presiden No. 23 Tahun 2006
Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Keberadaan BPSK (Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen) ini diatur dalam UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen dalam Pasal 49 ayat (1), yaitu : [6]“Pemerintah membentuk badan
penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan”.
C. Kelembagaan BPSK (Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen)
BPSK adalah pengadilan
khusus konsumen (small claim court) dan pemeriksaannya di lakukan oleh hakim
tunggal dan kehadiran penuh pihak ketiga (Pengacara) sebagai wakil pihak yang
bersengketa tidak diperkenankan.[7] Badan ini di bentuk di setiap Daerah
Tingkat II (di atur dalam UU No.8 Tahun 199 Tentang UU Perlindungan Konsumen
Pasal 49 ayat 1), dan badan ini mempunyai anggota-anggota dari unsur
pemerintah, konsumen dan pelaku usaha.[8]
Untuk lebih jelasnya
mari kita simak kelembagaan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), antara
lain :
1. Badan penyelesaian sengketa konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Ayat (1) terdiri atas :[9]
a. Ketua merangkap anggota
b. Wakil ketua merangkap anggota
c. anggota
2. Keanggotaan BPSK (Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen), adalah :
a. Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam
menjalankan tugasnya di bantu oleh sekretariat
b. Sekretariat badan penyelesaian sengketa
konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat
c. Pengangkatan dan pemberhentian kepala
sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen
ditetapkan oleh Menteri[10]
3. Proses pembentukan BPSK (Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen), adalah :
a. Adanya kesanggupan dari Kabupaten/Kotamadya
untuk pendanaan pembentukan BPSK, mulai dari perekrutan sampai dengan
operasional BPSK
b. Usulan pembentukan BPSK yang disampaikan
oleh Bupati atau Walikota di proses lebih lanjut di Direktorat Perlindungan
Konsumen Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Depperindag, untuk di susun Keppres
tentang pembentukan BPSK bagi daerah Kabupaten ata Kotamadya yang telah
menyanggupi pembentukan BPSK
c. Draft Keppres tentang pembentukan BPSK
disampaikan Depperindag kepada Sekretaris Negara untuk di syahkan Presiden
d. Keppres tentang pembentukan BPSK yang telah
disyahkan Presiden disampaikan Depperindag kepada Bupati atau Walikota berikut
permintaan calon anggota dan sekretariat BPSK yang akan diusulkan oleh Bupati
atau Walikota daerah setempat[11]
4. Urutan Pemilihan dan Pengangkatan Anggota
BPSK, adalah :
a. Bupati atau Walikota membentuk Tim
Pemilihan Anggota BPSK dengan Surat Keputusan Bupati (SKB) atau Walikota
b. Anggota Tim Pemilihan dilarang untuk
diusulkan menjadi anggota BPSK
c. Tim Pemilihan
d. Bupati atau Walikota mengajukan nama calon
anggota BPSK yang berasal dari daftar calon anggota yang telah dinyatakan lulus
oleh Tim Pemilih Calon Anggota BPSK Daerah kepada Menteri c.q. Direktur
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri disertai dengan persyaratan administrasi,
dokumen penunjang dan berita acara pemilihan calon
anggota BPSK
e. Nama calon anggota BPSK yang diajukan
tersebut sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) orang dan sebanyak-banyaknya 30
(tiga puluh) orang dengan ketentuan seurang-kurangnya 1/3 (sepertiga) dari
jumlah calon anggota tersebut berpengalaman dan berpendidikan di bidang hukum
f. Menteri
menetapkan dan mengangkat anggota BPSK dari calon anggota BPSK yang
diajukan, dengan memperhatikan beban kerja dan keseimbangan dari setiap unsur
yang diwakilinya
g. Dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja
sejak diterimanya usulan nama calon anggota BPSK secara lengkap dan benar,
Menteri menetapkan nama-nama anggota BPSK dengan Surat Keputusan[12]
5. Susunan anggota Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK), terdiri atas:[13]
a. Ketua merangkap anggota
b. Wakil ketua merangkap anggota
c. Anggota
6. Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan
penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai
berikut:[14]
a. Warga Negara Republik Indonesia
b. Berbadan sehat
c. Berkelakuan baik
d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan
e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di
bidang perlindungan konsumen
f. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh)
tahun
7. Anggota BPSK terdiri atas:[15]
a. Unsur pemerintahan (3 orang – 5 orang)
b. Unsur konsumen (3 orang – 5 orang)
c. Unsur pelaku usaha (3 orang – 5 orang)
D. Tugas dan Wewenang BPSK (Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen)
Tugas dan kewajiban
BPSK untuk melayani semua sengketa konsumen dengan model penyelesaian sengketa
melalui Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase. Hal ini memperlihatkan bahwa lembaga
BPSK ini bukan merupakan suatu model Small Claims Court untuk menyelesaikan
sengketa konsumen dengan nilai yang
kecil, seperti maksud semula pembentukan BPSK.[16] Small Claims Court merupakan
suatu usaha untuk membantu konsumen dalam mendapatkan perlindungan hukum dengan
menerapkan asas hukum berperkara dengan murah, cepat, sederhana, dan biaya
ringan.
Adapun tugas dan
wewenang BPSK, tercantum dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang UU Perlindungan
Konsumen, yaitu :[17]
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian
sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi, arbiterase, atau konsoliasi;
b. Memberikan konsultasi perlindungan
konsumen;
c. Pengawasan klausul baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila
terjadi pelanggaran undang-undang ini;
e. Menerima pengaduan dari konsumen, lisan
atau tertulis, tentang di langgarnya perlindungan konsumen;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan
sengketa konsumen;
g. Memanggil pelaku usaha pelanggar;
h. Menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau
setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran ini;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan
mereka tersebut huruf g apabila tidak mau memenuhi panggilan;
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai
surat, dokumen atau alat-alat bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya
kerugian konsumen;
l. Memberitahukan keputusan kepada pelaku
usaha pelanggaran undang-undang;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada
pelaku usaha pelanggar undang-undang;
E. Peranan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen)
Berbicara tentang
peranan BPSK maka, erat kaitannya dengan sengketa konsumen bahkan cara serta
dan solusi terbaik yang bisa dilakukan oleh BPSK dalam menangani masalah
sengketa konsumen, itulah peranan yang benar-benar riil dari peranan BPSK.
Sengketa konsumen
adalah setiap perselisihan antara konsumen dan penyedia barang dan/atau jasa
pelaku usaha dalam hubungan hukum antara satu sama lain mengenai produk
tersebut.[18]
Dalam hal sengketa
tentu adanya kesalahan dari salah satu pihak yang dinamakan wanprestasi.
Menurut Ade Maman Suherman sengketa adalah salah satu penyebab dari adanya
wanprestasi dari salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajibannya sesuai
dengan yang disepakati bersama atau ada faktor eksternal diluar para pihak yang
mengakibatkan tidak terpenuhinya prestasi dari suatu perjanjian.[19] Sedangkan,
dalam praktek bisnis pada umumnya para pelaku usaha berlindung dibalik standard
contract atau perjanjian baku yang telah ditanda tangani oleh kedua belah pihak
yaitu pelaku usaha dan konsumen ataupun berbagai informasi semu yang diberikan
oleh pelaku usaha kepada konsumen.[20]
Secara umum, penyusun
menyimpulkan beberapa peranan dari BPSK dalam menghadapi masalah sengketa
konsumen yang tengah marak saat ini, antara lain :
1. Melaporkan kepada penyidik umum apabila
terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
2. BPSK berperan sebagai konsiliator, Mediator
dan Arbiter dalam penyelesaian sengketa konsumen
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Keberadaan BPSK yang ada di Indonesia, adalah
langkah awal pemecahan dari masalah-masalah sengketa konsumen yang terjadi. Di
dukung dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang menaunginya,
membuat BPSK semakin menyebar di seluruh kota besar yang ada di Indonesia.
Dalam setiap lembaga tentu mengalami pasang surut serta penghambat dan
pendukung dalam kinerjanya terutama berperan dalam menangani masalah sengketa
konsumen. Meskipun secara tegas tugas dan wewenang BPSK termaktub dalam UU No.
8 Tahun 1999 Tentang UU Perlindungan Konsumen dalam Pasal 52.
Tidak dipungkiri bahwa
BPSK telah melaksanakan tugas dan wewenangnya secara baik dan tepat serta patuh
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan peraturan yang ada.
Wujud peran serta BPSK adalah dengan terselesaikannya masalah sengketa
konsumen, dan itu salah satu bukti nyata yang wajib kita dukung.
Harapannya, semoga
BPSK dapat memaksimalkan tentang keberadaan anggota atau SDI yang memadai,
lebih kritis dalam menanggapi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
sengketa konsumen sehingga ketika ada sengketa konsumen, diharapkan konsumen
memperoleh keadilan dan dipenuhi hak-haknya sebagai konsumen sesuai dengan UU
yang berlaku dan semoga BPSK dapat mengleuarkan keputusan yang
seadil-adilnya KELEMBAGAAN BPSK SERTA TUGAS DAN WEWENANG BPSK
Kompetensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Saya hendak bertanya perihal kompetensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam konteks UU No. 8/1999. 1. Apakah untuk proses penyelesaian sengeketa di BPSK diperlukan persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa? 2. Apabila pelaku usaha menolak/keberatan untuk menyelesaikan sengketa melalui BPSK dengan dasar bahwa telah ada kespekatan yang tertuang dalam Perjanjian (yang menjadi dasar hubungan hukum konsumen dengan pelaku usaha) mengenai forum penyelesaian sengketa; Dapatkah BPSK tetap melaksanakan proses penyelesaian sengketa dengan kondisi demikian? 3. Apakah BPSK memiliki wewenang untuk malakukan panggilan paksa terhadap pelaku usaha yang menolak untuk menyelesaikan sengketanya melalui BPSK? 4. Bagaimana kekuatan hukum suatu putusan arbtrase di BPSK yang dibuat tanpa kehadiran pelaku usaha? Demikian, mohon penjelasannya. IND.
THEODORUS.INDRA
Jawaban:
SHANTI RACHMADSYAH, S.H.
1. Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) mengatur bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan pada pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau ke badan peradilan. Kemudian, menurut pasal 52 UUPK, salah satu kewenangan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”) adalah menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Jadi, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak perlu persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa.
Berkaitan hal di atas, pasal 45 UUPK memang menyebutkan bahwapenyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Namun, ini tidak berarti dalam mengajukan gugatan harus telah disetujui dahulu oleh para pihak. Menurut penjelasan pasal 45, ini artinya dalam penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Jadi, pengajuan gugatannya tidak harus atas persetujuan para pihak, tetapi para pihak dapat bersepakat untuk memilih perdamaian untuk penyelesaian sengketanya.
Lain halnya dengan penyelesaian sengketa BPSK yang melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase. Menurut pasal 52 huruf (a) UUPK, BPSK berwenang untuk melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Mengenai mediasi, arbitrase dan konsiliasi ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik IndonesiaNomor 350/Mpp/Kep/12/2001 Tahun 2001tentangPelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“Kepmen Perindag350/2001”). Menurut pasal 4 ayat (1) Kepmen Perindag350/Mpp/Kep/12/2001, penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan. Jadi, yang perlu persetujuan para pihak adalah apabila penyelesaian sengketa konsumen di BPSK dilakukan dengan cara mediasi/konsiliasi/arbitrase.
2. Seperti telah diuraikan di atas, konsumen dapat menggugat pelaku usaha ke BPSK atau ke badan peradilan. Namun, dalam hal sengketa itu bukan kewenangan BPSK, Ketua BPSK dapat menolak permohonan penyelesaian sengketa konsumen (lihat pasal 17 Kepmen Perindag350/2001).
Dalam hal telah ada perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen mengenai forum penyelesaian sengketa, maka sudah seharusnya para pihak tunduk pada klausula tersebut. Ini mengacu pada pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihaknya sebagai undang-undang. Oleh karena itu, seharusnya penyelesaian sengketa dilakukan berdasar kesepakatan awal.
3. Pasal 52 huruf g UUPK memang memberikan kewenangan pada BPSK untuk memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Akan tetapi, BPSKtidak diberikan kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa terhadap pelaku usaha tersebut. Meski demikian, BPSK bisa meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen (lihat pasal 52 huruf i UUPK). Jadi, BPSK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa, tetapi BPSK bisa meminta bantuan pada penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha. Penyidik di sini mengacu pada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen (lihat pasal 59 ayat [1] UUPK)
4. Dalam hal pelaku usaha tetap tidak memenuhi panggilan BPSK, maka BPSK dapat mengadili sengketa konsumen tanpa kehadiran pelaku usaha. Hal ini mengacu pada pasal 36 Kepmen Perindag350/2001, yaitu dalam hal pelaku usaha tidak hadir pada hari persidangan I (pertama),majelis hakim BPSK akan memberikan kesempatan terakhir kepada pelaku usaha untuk hadir pada persidangan II (kedua) dengan membawa alat bukti yang diperlukan. Jika pada persidangan II (kedua) pelaku usaha tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha. Jadi, dalam hal pelaku usaha tidak menghadiri persidangan, maka BPSK dapat mengabulkan gugatan konsumen. Adapun putusan BPSK sendiri adalah putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (lihat pasal 54 UUPK jo pasal 42 ayat [1]Kepmen Perindag 350/2001). Final artinya dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi (lihat penjelasan pasal 54 ayat [3] UUPK). Putusan BPSK kemudian dapat dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan (lihat pasal 42 ayat [2]Kepmen Perindag 350/2001).
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik IndonesiaNo. 350/Mpp/Kep/12/2001 Tahun 2001tentangPelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Post a Comment